diberiatahukan segenap warga PMII se Jawa Timur untuk hadir dalam acara PELANTIKAN dan SEMINAR di Hotel Elmi Surabaya, pada tanggal 03 Mei, Pukul 08.30 WIB. ini sebagai undangan. Yok//
Salam Silaturahmi :
Menurut sahabatm sikap Foksika dalam Pilgub Jatim ?
Jumat, 25 April 2008
Sabtu, 19 April 2008
PELANTIKAN FOKSIKA PMII JATIM& SEMINAR NASIONAL
Demokrasi Berkeadaban dan Kesejahteraan
Dasar Pemikiran
Hingga awal Era Reformasi, kajian intelegensia Muslim, khususnya sayap intelegensia nahdliyyin masih dilupakan para peneliti, kalaupun ada bias Weberian dan bersifat singkronik. Adalah pendekatan studi yang kurang memberikan penekanan pada aspek pentingnya perubahan formasi sosial dan struktur pendidikan nahdliyyin dalam membentuk intelegensia Muslim daripada memberikan penekanan pada aspek politik dan ekonomi yang diletakkan pada kerangka singkronik (perubahan dalam rentang pendek). Seharusnya pendekatannya bersifat diakronik, yaitu melihat perkembangan dan capaian prestasi intelegensia nahdhyyin dalam rentang sinambung perjalanan kuasa nahdhiyyin sejak kelahirannya (diakronik).
Model kajian singkronik itu bisa mengakibatkan miskonsepsi pembacaan realitas sejarah politik NU, misalnya soal kebijakan politik Kembali Khittah 1926 yang dipahami secara tidak tepat oleh sejumlah peneliti. Mereka memahami politik khittah secara dikhotomis, yaitu NU dan politik via avis negara.[1] Seharusnya dipahami sebagai perubahan strategi NU dan politik vis a vis membangun politik NU yang cerdas dan professional sebagai konsekwensi logis dari terjadinya perubahan formasi pendidikan, struktur kognitif, formasi diskursif nahdiiyyin, dan terbukanya ruang publik (public sphere) serta strutkur peluang politik yang terbuka lebar untuk semua anak bangsa.
Makna Intelegensia Nahdhiyyin dan Kuasa
Secara tradisional, intelegensia dapat dilihat dari dua perspektif. Marxian memandang bahwa pemikiran intelegensia ditentukan terutama oleh relasi mereka dengan struktur kekuasaan dan ekonomi. Sedangkan Weberian melihat bahwa pemikiran kaum intelegensia ditentukan oleh relasinya dengan pengetahuan (Miller, 1999). Keduanya mengandung banyak kelemahan, maka muncul pemikiran konvergensi yang mengakui bahwa pemikiran dan dinamika intelegensia ditentukan oleh interrelasi antara kuasa dan formasi pendidikan, struktur kognitif, dan diterminan budaya lainnya.
“Nahdliyyin” dalam kajian ini dipahami bukanlah sebuah penanda (signifier) terhadap setiap orang yang menganut NU semata dan juga bukan penanda kesalehan dalam bernahdliyyin, tetapi sebagai penanda dari tradisi dan haragah politik intelegensia Muslim yang berorientasi Aswaja yang terkonstruk lewat praktik diskursif dalam suatu momen historis tertentu dalam sejarah per-nahdlatululamaan sekala kebangsaan dan kerakyatan.
Meminjam istilah Foucault, kuasa adalah “permainan strategis di antara para pihak yang memiliki kebebasan memilih” (strategic games between liberties). Lebih jauh, ia mengkritik teori tradisional yang mengatakan bahwa kuasa bersifat occasional, yaitu hanya dimiliki oleh yang berkuasa, di mana penggunaannya terserah kepada yang berkuasa. Kritik juga diberikan pada konsepsi Marxian yang mengatakan bahwa kuasa bersifat monolitik, yaitu dimiliki oleh negara atau sekelompok kecil orang. Pandangan ini menafikan aktor dan peran kekuatan sosial lainnya yang hidup dalam masyarakat sehingga tidak ada ruang bagi resistensi terhadap kuasa. Tidak kalah pentingnya, kritik juga diberikan pada pandangan yang menafikan peran politik makna dari pengetahuan dalam pertarungan kuasa (Foucoult, 1980:156-220).
Berdasarkan pandangan ini, intelegensia nahdliyyin memiliki peranan besar dalam mengarahkan arah kuasa membangun demokrasi berkeadaban dan kesejahteran untuk semua. Karena, di situlah terjadi permainan kuasa antara para pihak yang merdeka (srategic games between leberties) yang saling memberi dan mengambil (reversible) antara kuasa dominasi (domination) yang dimiliki penguasa dan kuasa perlawanan (resistention) yang dimiliki masyarakat
Dari paparan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa kuasa tidak saja berada dalam ranah politik, negara dan pemerintahan, tetapi juga berada dalam ranah pengetahuan dan masyarakat di mana intelegesia sebagai pelaku utamanya. Dengan demikian, dunia politik sebagai arena relasi kuasa dalam arti tindakan dan pertarungan kuasa tidak hanya ditentukan oleh penguasaan modal sosio-politik seperti partai, parlemen, dan atau oleh modal-ekonomis seperti uang dan sumber ekonomi lainnya, tetapi juga ditentukan oleh modal simbolis-kultural seperti pendidikan, formasi diskursif dan sistem pemaknaan yang lain.
Berdasarkan pemahaman ini, tidaklah heran bila banyak pengamat yang salah menyimpulkan bahwa politik nahdhiyyin di Indonesia sekarang ini mengalami kekalahan karena mereka memandang kuasa dipahami hanya sebagai ranah politik, negara dan pemerintahan semata. Namun bila kuasa dipahami sebagai ranah pengetahuan di mana intelegensia sebagai arus utamannya, maka politik nahdhiyyin Indonesia kini mengalami kemenangan karena intelegensia nahdliyyin terus mengalami proses regenerative capacity dalam menghadapi tuntutan dan perubahan keummatan.
Alhasil, “intelegensia Nahdliyyin” dalam pertarungan kuasa dipahami sebagai berikut, yaitu:
1. Intetelegensia nahdliyyin adalah sebuah entitas kolektif dan sebuah substratum pemikir, perumus, artikulator dari identitas kolektif yang di bangun jauh dari sekedar sekelompok orang yang disatukan oleh kepentingan intelektual tertentu, dan pandangan yang bersifat ekonomis dan politis, serta atas penerimaan terhadap budaya yang lebih luas daripada batas tradisionalnya;
2. Dinamikanya dipahami sebagai sebuah perjuangan untuk menyatakan diri dalam menghadapi tantangan dan perubahan atau struggle for the real of Nahdliyyin. Baginya, tantangan yang paling besar dan menahun adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterlambatan dalam menggapai kemajuan, serta ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terus mengelayut entitas nahdliyyin.
Tema ini dipilih karena beberapa alasan.
1. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2008-2013 yang diikuti oleh sejumlah intelegensia nahdliyiin, yaitu Ali Maschan Musa, Khofifah Indar Parawansa, Saifullah Yusuf, dan Achmadi, harus dipandang sebagai momentum yang diberikan oleh struktur kesempatan politik (political ooportunity structure) bagi nahdliyyin untuk menggapai kuasa yang berorientasi pada demokrasi berbasis keadaban dan kerakyatan.
3. Adalah dalam rangka untuk membangun tradisi politik demokrasi yang berkeadaban, yaitu tradisi yang menghargai prinsip ”Nahdliyyin identity in differense” dan “difference in Nahdliyyin identity” yang didasari oleh semangat tawazun, i’tidal, dan taaluf. Melalui eksperimen pemilihan gubernur inilah, perjuangan tersebut menjadi tugas profetik intelegensia nahdliyyin.
Waktu dan Tempat :
Sabtu, Tanggal 03 Mei 2008, Pukul 08.30 WIB. di Hotel Elmi Jl. Panglima Sudirman Surabaya.
Peserta
Kegiatan ini akan melibatkan 300 orang, meliputi: Foksika PMII, Mabinda PMII, PMII, se-Jawa Timur, serta undangan lainnya.
Ali Maschan Musa (Calon Wakil Gubernur), Achmady (Calon Gubernur), Saifullah Yusu Calon Wakil Gubernur), Khofifah Indar Parawansa (Calon Gubernur), Daniel Sparinga (Pengamat Politik), Arif Mudatsir Manan (kornas foksika), Kacung Marijan (Akademisi)
Achmad Bagja (Ketua FOKSIKA) & Surya Dharma Ali (Alumni PMII)
Follow Up Kegiatan
Penerbitan buku. Selain memuat hasil-hasil Seminar, adalah kumpulan tulisan dari beberapa alumni. Yang selanjutnya buku tersebut akan di sebarkan dalam arena Munas Foksika serta PMII pada umumnya.
Demikian Proposal ini dibuat, semoga bisa dijadikan acuan dan rujukan dalam mensukseskan kegiatan dan sukses visi FOKSIKA PMII dalam mengemban perubahan.
[1]
Diposting oleh Foksika PMII Jatim di Sabtu, April 19, 2008 0 komentar